Kamis, 17 Mei 2012

Kelak, ada yang datang kepada kita seseorang yang mengaku bahwa dia keturunan pahlawan. Pahlawan anu, keturunan dari garis bapak atau ibu. Kita tidak tahu menahu, sementara yang datang itu menjelaskan kepada kita tentang betapa hebat dia punya endatu. Kita tetap saja tak tahu menahu, atau malah memasang muka tak ingin tahu. Tapi dia terus saja memberitahu. 

Dalam ketermanguan mendengar cerita, pikiran kita mundur ke belakang hingga sampai pada abad ketika perang masih berkumandang. Kita belum lahir waktu itu. Tapi kita sempat membaca buku sejarah dan hikayat-hikayat lama. Kita bisa membayangkannya. Perang dahsyat, yang menghumbalang ke seantero kota, kampung, dusun, bahkan ke puncak-puncak gunung. Kita membayangkan perang yang pernah dialami oleh banyak orang. Yang dialami para nenek dan kakek moyang. Karenanya, kita mencoba mengheningkan cipta. Membaca beberapa do'a untuk sekadar mengucapkan terimakasih dan salam sejahtera. 

Celakanya, seseorang yang datang, yang mengaku diri sebagai buyut pahlawan, menepuk bahu kita yang sedang menuju khusyu' dalam hening cipta. "Kalian sama sekali tak mendengarkan ceritaku. Kalian tak menghargai para endatu. Kalian tak tahu malu. Mungkin, ayah dari kakekku yang pernah berperang dulu menyesal telah mengorbankan nyawanya demi bangsa yang rakyatnya tak tahu berterima kasih. Cuiih!"
 
Kita tak berkomentar apa-apa, tapi dalam hati sudah berkata-kata, "Ini orang ditinggal perang sendirian. Tak sempat membaca buku karena terlalu sibuk memberi tahu."

0 komentar:

Posting Komentar

Media Partner

Kabar Dari Aceh

Kumpulan Cerpen Kompas

Blogroll

About